Minggu, 25 Januari 2009

Kembali ke Pangkuan Islam: Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang di Spanyol, Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang itu terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Semua tahanan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Sebab jika tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang tengah mengumandangkan suara-suara yang sangat ia benci.

"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyundut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib...! Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat ‘galak’ untuk meneriakkan kata “Rabbi, wa ana 'abduka...”. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz... InsyaAlloh tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu sekeras-kerasnya hingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Bapa kami, Tuhan Yesus! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak terdengari lagi di sini. Sebagai balasannya, kau akan kubunuh! Kecuali, jika engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar kata-kata tadi, orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

"Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai Kekasihku yang amat kucintai, Alloh. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti keinginanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Sesaat saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhunyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

Dengan tatapan menghina pada Roberto, sang Ustadz menjawab, "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!". Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang remuk terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar suara gemeretak itu. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya berang. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh itu. Namun, mendadak algojo itu termenung.

"Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembar pertama ‘buku kecil’ itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" di dalamnya. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang Ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak dahulu.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa syahid di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan, ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib. Semua itu terjadi hanya karena mereka tidak mau murtad sari agama Islam dan memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang anak laki-laki tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak laki-lak itu menumpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan ia mendekati tubuh yang tak sudah bernyawa itu. Anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi… mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."

Bocah itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus diperbuatnya . Untuk pulang ke rumah pun ia tidak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...! Abi...! Abi...!!" Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak itu. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawabnya memohon belas kasih. "Hah...?! Siapa namamu bocah?! Coba ulangi!!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah! " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba… Plak!! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai bocah...! Wajahmu tampan tapi namamu hodoh! Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Bocah itu mengigil ketakutan, sambil tetap meneteskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Dan akhirnya anak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto tersadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah tahanan yang tengah terkulai tak berdaya itu. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi...!!!". Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah kecil dahulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah mushaf Al-Qur’an milik ayahnya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang Ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.

Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Alloh.

Sang Ustadz dengan susah payah masih dapat berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan, sang Ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anlaa Ilaaha illa-Alloh, wa asyahadu anna Muhammad ar-Rasullullah...”. Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru padanya, Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Alloh, tetaplah atas fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Alloh. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS30:30)

Jumat, 17 Oktober 2008

SONGSONGLAH SERUAN ALLOH!

Alloh swt berfirman:

} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَ لِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَ اعْلَمُوا

أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَ قَلْبِهِ وَ أَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ {

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dikumpulkan” [QS. al-Anfāl (8): 24]

“Sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian adalah iman, Islam, al-Qur`an dan jihad.”


Alangkah agung nikmat yang Alloh anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, ketika Dia menyempurnakan agama-Nya, melengkapi nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai agama-Nya.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu” [QS. al-Mā’idah (5): 3]

Alangkah terhormatnya seorang manusia, saat kembali menuju Alloh swt, menerima dakwah-Nya dan melihat jalan lurus yang ada di hadapannya. Itulah peran diri yang harus ditunaikan dalam kehidupannya.

Orang-orang yang mau menerima seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw, secara dzahir dan bathin, adalah orang-orang yang hidup, sekalipun jasad-jasad mereka telah mati, orang-orang kaya, sekalipun tak memiliki apa-apa, dan mereka adalah orang-orang mulia, sekalipun minim pendukung dan keluarga.

Selain mereka adalah orang-orang mati, sekalipun jasad-jasad mereka masih hidup.

Mereka mati tidak hidup, mereka tidak menyadari[QS. al-Nahl (16): 21]

Orang-orang yang tidak menerima seuran Alloh adalah orang-orang miskin, sekalipun tumpukan emas memenuhi saku-saku, gudang-gudang, ataupun rekening-rekening mereka. Mereka adalah orang yang diselimuti kehinaan, sekalipun berasal dari keturunan terhormat lagi mulia.

Karena itu, manusia yang paling sempurna hidupnya adalah mereka yang paling sigap menyambut seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw. Mereka hidup dengannya dan menyampaikan pesan-pesannya. Setiap apa yang diserunya mengandung kehidupan. Barangsiapa kehilangan salah satu bagian dari peran dakwahnya, maka akan hilanglah satu bagian dari hidupnya. Mereka memiliki kehidupan sebesar upaya dirinya mau menerima Alloh swt dan Rasul-Nya saw. Alloh swt memberikan dakwah mulia ini untuk kaum mukminin, menghimpun mereka dalam perasaan iman, menyeru mereka dengan nama iman dan mengingatkan mereka tentang kandungan iman. Dia panggil mereka dengan seruan iman, agar mereka siap sedia menyambut dakwah-Nya dengan sungguh-sungguh dan perhatian, siaga dan sepenuh kekuatan. Itulah sikap seorang mukmin: Menyongsong perintah-perintah Alloh swt dan seruan dakwah-Nya dengan penuh kekokohan jiwa dan kemantapan hati.

“Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu” [QS. al-A'rāf (7): 171]

Tidak ada seorangpun yang menerima seruan Alloh, mampu mengemban dakwah dan bertahan menghadapi rintangannya serta mampu hidup dan bergerak di dalamnya kecuali pahlawan perkasa. Jadilah ia generasi beriman yang istimewa, menerima al-Kitab dengan penuh komitmen, dan konsekuen dengan kandungannya. Dia memiliki risalah dan tujuan mulia, berjuang dan berjihad untuk-Nya.

“Dan berjihadlah kalian di jalan Alloh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Alloh) telah menamai kalian sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atau segenap manusia” [QS. al-Hajj (22): 78]

Dia menjadi bagian dari ummat pemandu dan pemimpin yang dipilih Alloh swt sebagai saksi kunci bagi seluruh manusia, untuk menegakkan keadilan dan kejujuran, serta meletakkan timbangan rabbaniyyah dan nilai-nilai mulia, ummat yang adil dan pertengahan.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" [QS. al-Baqarah (2): 143]

Seruan inilah yang Alloh swt tujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, seruan menuju kehidupan. Kehidupan yang beragam bentuknya dan berbeda hakekat maknanya, bukan semata-mata kehidupan. Sebuah kehidupan mulia dan hakikat sempurna yang membedakan seorang insan dengan makhluk-makhluk lainnya. Seluruh makhluk lainnya hidup di alam hewan, bergerak dengan dorongan perut dan kemaluan, tidak mengenal tujuan mulia yang harus ditempuh, tidak pula mengenal risalah hidup yang harus diemban dan berjuang di jalannya. Harga dirinya hanyalah beberapa rupiah yang memenuhi kantongnya, atau sesuap nasi yang memenuhi perutnya, atau sehelai kain yang menutupi jasadnya. Setelah itu, tak ada apa-apa, kecuali hanya sekedar berlalu-lalang.

Itulah sebuah kehidupan yang menggelorakan qalbu dan akal, aqidah yang menyinari jiwa, hingga terciptalah sesosok diri yang penuh hidayah dan cahaya.

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” [QS. al-An'ām (6): 122]

Itulah aqidah yang menuntun akal, mengarahkan untuk bergerak dan berkerja, mencegah penyimpangan dan pemalsuan, menjaga kemampuan dan potensi. Saat seseorang mampu menata fikrahnya dengan lurus, menentukan ruang gerak pencapaian akalnya serta mencegah sesuatu yang tak sanggup dipikirkan dan dijangkaunya, saat itulah dia telah mampu mempotensikan daya akalnya untuk bekerja sesuai ruang lingkupnya. Dengan itulah, dia akan mampu mewujudkan hasil-hasil besar sunnah rabbāniyyah di alam semesta, di alam sosial, kebudayaan, dan dalam rentetan berbagai peristiwa sejarah.

Itulah kehidupan yang menghidupkan ruh dan jasad, tanpa terpisah atau berbenturan. Di dalam Islam, penyiksaan tubuh bukan jalan menuju ketinggian dan kesucian ruhani. Perhatian terhadap ruhani tidak berarti bahwa seorang mukmin harus menolak dan menyingkirkan apa saja yang dihalalkan dan diharamkan oleh Alloh swt, bukan pula dengan menolak hak kehidupan dan perhiasan yang dikeluarkan Alloh swt untuk hamba-hamba-Nya.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kalian melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik kepadamu....” [QS. al-Qashash (28): 77]

Itulah pelajaran yang diberikan Nabi saw kepada para shahabatnya, yang ditanamkan dalam kalbu dan jiwa mereka, sebuah pelajaran dan pengajaran yang takkan terlupa.

Anas bin Malik berkata: Tiga orang laki-laki datang ke rumah isteri Rasulullah saw untuk bertanya tentang peribadatan beliau. Saat mereka sudah dikhabarkan tentang ibadah beliau tersebut, mereka merasakan minim sekali ibadah mereka jika dibandingkan dengan beliau. Mereka berkata: “Siapakah kita ini, jika dibandingkan dengan Nabi saw yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang kemudian?”. Lalu, salah seorang dari mereka berkata: “Saya akan shalat malam selama-lamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan shaum sepanjang tahun tidak berbuka”. Dan yang lain berkata pula: “Saya akan meninggalkan wanita, tidak menikah selama-lamanya”. Lalu, datanglah Rasulullah saw dan berkata: “Kalian yang berkata ini dan itu? Demi Alloh, aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Alloh swt, akan tetapi aku shaum dan berbuka, aku shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah golonganku” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

Tidak akan terwujud kehidupan kecuali dengan wahyu al-Rahmān.

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kalian tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kalian benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Alloh yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Alloh-lah kembali semua urusan” [QS. al-Syūrā (42): 52-53]

Alloh swt menamakan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya dengan ruh, karena di atasnyalah kehidupan hakiki terwujud. Dia namakan juga wahyu-Nya dengan nūr (cahaya), karena di dalamnya mengandung hidāyah (petunjuk). Serta menamakannya dengan syifā (obat penawar).

“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat)” [QS. al-Mu'min (40): 15]

“Katakanlah: al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman [QS. Fushshilat (41): 44]

Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Nabi saw mengumpamakan iman dan aqidah yang diwahyukan kepadanya sebagai hujan yang diturunkan ke tanah yang gersang, hingga tanah itupun tumbuh subur. Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan hidayah dan ilmu yang diutuskan Alloh kepadaku adalah seperti hujan lebat yang menimpa selahan tanah. Di antara tanah itu ada yang subur sekali yang mampu menampung air, lalu menumbuhkan rerumputan dan tunas-tunas pohon yang banyak. Ada pula tanah gersang yang hanya menampung air untuk minum manusia, untuk pengairan dan pertanian. Serta ada pula tanah mati yang tidak dapat menampung air dan juga tumbuh-tumbuhan. Itulah perumpamaan orang yang faqih dalam agama Alloh dan memberikan manfaat dengan wahyu yang diturunkan Alloh kepadaku, maka diapun berilmu dan mengajarkan ilmunya. Dan perumpamaan orang yang tidak mengangkat kepalanya sedikitpun dan tidak menerima hidayah Alloh yang aku diutus karenanya(HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

Itulah seruan menuju aqidah, Islam dan iman. Alloh swt menghidupkan mereka dengan Islam dan iman, padahal sebelumnya mereka mati dalam kekufuran.

Itulah seruan menuju kebenaran dan kekuatan. Kebenaran yang menjadi landasan didirikannya langit dan bumi, karena Alloh swt tidak menciptakan keduanya kecuali dengan kebenaran.

“Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan karena kebenaran.” [QS. al-Hijr (15): 85]

Kitab yang diturunkan oleh Alloh swt kepada penutup para nabi dan rasul-Nyapun adalah kebenaran. Karena Dia menurunkannya dengan kebenaran.

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab (al-Quran) itulah yang benar” [QS. Fāthir (35): 31]

“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya” [QS. Āli ‘Imrān (3): 3]

Syari`at yang diturunkan Alloh swt kepada Rasulullah saw adalah kebenaran dan keadilan. Alloh swt sempurnakan syari`at-Nya dan dianugerahkan kepada seluruh makhluk-Nya, agar mereka menegakkan kebenaran dan keadilan di antara mereka.

“Dialah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama” [QS. al-Shaff (61): 9]

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan....... [QS. al-Hadīd (57): 25]

Jika kebenaran harus memiliki kekuatan yang dapat melindungi dan dapat menyingkirkan berbagai rintangan dalam perjalanan, membawa dan menyampaikannya kepada ummat manusia, maka atas dasar perkataan al-Fāruq ‘Umar adalah bahwa bicara kebenaran tidak akan berarti tanpa ada yang berjuang mensukseskannya. Sesungguhnya seruan kehidupan ini adalah seruan kekuatan dan jihad yang menjadi sebab Alloh swt muliakan ummat ini setelah tertimpa kehinaan, Alloh swt kuatkan setelah mengalami kelemahan. Bendera jihad fī sabīlillah untuk mengikrarkan hak-hak uluhiyyah Alloh swt di muka bumi, memberikan kebahagiaan ummat manusia terhadap agama-Nya serta memerdekakan mereka dari pengabdian kepada selain-Nya. Mereka adalah hamba-hamba Alloh swt, maka saat itulah mereka akan diberikan anugerah kemerdekaan hakiki dan ‘izzah (kemuliaan) yang sempurna. Jihad adalah jalan kemuliaan dan kehormatan bagi ummat, jalan kehidupan yang hakiki.

Sampai-sampai sekalipun sang mujahid mati dan mencapai syahid di jalan dakwah, akan tetapi di sisi Alloh swt mereka tetap berada dalam kehidupan (sekalipun di kubur-kubur mereka) serta akan memperoleh rizki yang indah yang tak dapat diukur dengan rizki dunia. Mereka adalah orang-orang yang memperkenankan seruan Alloh swt dan seruan Rasul-Nya saw.

“Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang diberikan-Nya kepada mereka. Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Alloh, dan bahwa Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman” [QS. Āli ‘Imrān (3): 169-171]

Dahulu, kaum muslimin hidup di tengah-tengah hakekat tersebut dengan situasi dan perasaan mereka yang mendalam. Di sisi mereka, jihad adalah kehidupan hakiki. Bukti-bukti sejarah tentang mereka sungguh tidak terhitung. ‘Umar yang menyaksikan langsung pertempuran antara Romawi dan Syam, serta seruan al-Shiddiq untuk jihad merupakan ajakan untuk hidup hakiki yang mulia.

Abu Bakar mengumpulkan para penasehatnya, di antaranya beliau berkata: “Aku bermaksud mengutus pasukan perang menuju pertempuran dengan Syam, agar Alloh memperkuat kaum muslimin, menjadikan kalimat-Nya tinggi, di samping kaum muslimin akan mendapatkan banyak bagian. Barangsiapa yang mati, maka dia mati syahid, dan apa yang ada di sisi Alloh lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. Dan barangsiapa yang masih hidup, maka dia hidup membela agamanya dan akan meraih pahala mujahidin dari Alloh”.

Semuanya ikut berbicara, ‘Umar, Abdurrahman bin `Auf, `Utsman bin `Affan, Thalhah, al-Zubayr, Sa`ad, Abu `Ubaidah, Sa`id bin Zaid dan seluruh yang hadir, semuanya sepakat dengan Abu bakar tentang prinsip kemerdekaan Syam.

Persatuan tercapai, Abu Bakar menyatukan ummat, lalu dia memuji Alloh swt dan menyerukan seruan jihad. Manusiapun diam, tak ada satupun yang mampu menjawabnya, karena begitu hebatnya pasukan Romawi, yang mereka tahu betapa banyaknya jumlah dan dahsyatnya kekuatan mereka. ‘Umarpun berdiri dan berkata: “Hai seluruh kaum muslimin! Mengapa kalian tidak menjawab khalifah Rasulullah yang menyeru kalian untuk sesuatu yang menghidupkan kalian? Seandainya itu sebuah jarak yang dekat dan perjalanan yang singkat, tentu kalian akan segera berangkat

Kalimat al-Faruq itu keluar dari sumber cahaya, yaitu firman Alloh swt:

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian” [QS. al-Anfāl (8): 24]

Itulah kehidupan hakiki di dalam syurga, sebuah negeri kehidupan, negeri yang memancarkan kehidupan hakiki yang abadi, setelah berpindah dari kehidupan dunia. Negeri akhirat adalah kenikmatan yang harus direbut oleh setiap orang serta jangan ridha untuk digantikan dengan selainnya dan ja-gan mencari jalan untuk melepasnya. Untuk itu, seseorang harus memiliki persiapan dan perbekalan untuk mencapai akhir perjalanannya. Dengan begitu, akan terbuka cakrawala mulia di hadapannya, cita-cita yang jauh hingga mencapai puncak kemuliaan dan keimanan.

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda-gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” [QS. al-'Ankabūt (29): 64]

Adapun orang-orang yang enggan memperkenankan seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw, berarti menolak kehidupan mulia yang layak bagi kemanusiaannya. Tidak ada yang dapat mereka raih kecuali kerendahan, hasil yang akan mereka dapatkan hanyalah kehancuran dan tempat kembali mereka adalah siksaan dan hinaan.

“Tidakkah kalian perhatikan orang-orang yang menukar nikmat Alloh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruknya tempat kediaman” [QS. Ibrāhīm (14): 28-29]

Alangkah ruginya mereka yang lebih mementingkan dunia yang fana dibandingkan akhirat kekal selamanya. Alangkah besar kesesatan mereka yang membatasi alam wujud dengan hanya apa yang mampu mereka jangkau dengan panca inderanya yang terbatas di dunia. Mereka mengira wujud mereka hanya terbatas di dalamnya, tidak bekerja untuk selainnya: Manusia diciptakan untuk kekal, maka sesatlah ummat yang mengira akan wafat.

Mereka hanya pindah dari negeri amal, untuk sampai ke negeri celaka atau bahagia.

Seluruh makna kehidupan yang kita temukan di dalam ayat yang mulia ini, berupa iman, kebenaran, jihad atau syurga di negeri akhirat… Itulah semua yang dimaksud dan dituju, tidak ada perbedaan untuk itu semua, semuanya hanya ibarat-ibarat yang memiliki satu hakekat. Yaitu: kokoh berdiri dengan wahyu yang dibawa Rasulullah saw, baik dzahir maupun bathin. Ungkapan-ungkapan yang tampaknya berbeda, bukanlah perbedaan kontradiktif, tetapi hanya perbedaan redaksi.

Imam Ibnu al-Qayyim berkata:

Ayat tersebut mengandung semua makna yang disebutkan. Sesungguhnya iman, Islam, al-Qur`an dan jihad akan menghidupkan hati dengan kehidupan yang baik dan sempurna di dalam Syurga. Rasul adalah penyeru iman dan syurga serta penyeru kehidupan di dunia dan di akhirat

Wahai saudaraku kaum muslimin!

Apakah engkau siap menyongsong seruan mulia yang dianugerahkan Alloh swt kepadamu? Agar engkau gapai kehidupan mulia. Maka, jadikanlah seruan itu sebagai sikap dan rambu-rambu perjalanan.

Apabila seruan itu disampaikan untuk yang kedua kalinya, apakah engkau siap menyongsongnya?

Engkau tak memiliki pilihan… jika engkau seorang mukmin… Mau iman… atau bukan iman… mau menerima dan menyongsongnya… ataukah menolak?

Pasti bukan seorang mukmin yang menolak seruan Alloh swt atau menjadikannya hanya lewat di belakang telinga. Menerima seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw adalah ciri hakiki dan simbol amali keimanan.

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. al-Nūr (24): 51]

Seorang mukmin adalah seorang yang menyambut panggilan iman dengan segera.

“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kalian kepada Rabb-mu”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji” [QS. Āli ‘Imrān (3): 193-194]

Selasa, 02 September 2008

Jadilah Pejuang...!!!

Kabar gembira akan kemenangan Islam telah tersebar dimana-mana, al-hamdu lillah. Hari demi hari terdengar kabar kekalahan musuh Islam di berbagai penjuru dunia. Janji Alloh sw benar-benar telah mendarat di bumi realita.

Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti

mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara

Kami itulah yang pasti menang.

[QS. ash-Shaffāt (37): 171-173]

S

emua pertolongan itu adalah semata-mata anugerah Alloh sw. Hadir karena Alloh sw Maha kuat lagi Maha perkasa. Beruntung se-kali orang-orang yang Alloh sw pilih menjadi pejuang-Nya.

Alloh telah menetapkan:Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang. Sesung-guhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa. [QS. al-Mujādilah (58): 12]

Sesuai hikmah-Nya, di setiap keme-nangan Islam tersebut pasti ada pah-lawannya. Melalui tangan dan kiprah para pejuang (pahlawan) tersebut, Alloh sw menampakkan sunnah-sun-nah-Nya. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan janji mereka kepada Alloh sw, menjadi pejuang di jalan-Nya. Demikianlah kehendak Alloh sw untuk menguji orang-orang beriman agar membuktikan keimanan mereka di alam nyata.

Demikianlah apabila Alloh menghen-daki niscaya Alloh akan membinasa-kan mereka tetapi Alloh hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. [QS. Muhammad (47): 4]

Turunnya ujian dan kesulitan di ha-dapan umat ini tidak lain agar lahir pa-ra pejuang. Melalui tangan-tangan me-reka, Alloh sw menggebuk dan meng-hinakan musuh-musuh-Nya, musuh-musuh mereka juga.

Saudaraku kaum muslimin.…

Kisah para shahabat menawarkan kita telaga penghilang dahaga dalam dunia perjuangan. Mereka rm adalah manusia-manusia terpuji yang paling bersegera dalam memenuhi seruan Rabb-nya.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari go-longan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Alloh….” [QS. at-Tawbah (9): 100]

Ada poin penting dalam ayat di atas yang harus kita renungkan, yaitu:

…dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik….

Ini adalah gerbong yang memberikan peluang bagi kita untuk ikut mengisi-nya, sehingga kita pun mendapatkan:

Alloh ridha kepada mereka dan me-rekapun ridha kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.[QS. at-Tawbah (9): 100]

Syaikh Rasyid Ridha rh berkata:

“Tidak ragu lagi bahwa kebersamaan setiap orang yang beriman dengan para shahabat dalam keridaan Alloh dan pahala adalah sesuai kadar pengikutan mereka da-lam hijrah, jika mereka menghadapi situ-asi yang mengharuskan hijrah, dan serta dalam jihad mereka dengan harta dan jiwa untuk menolong Islam.” (al-Manār: 16/11)

Pertolongan adalah anugerah ter-indah dan tertinggi, karena bertujuan untuk menjadikan kalimat (agama) Alloh sw tinggi serta untuk menolong Rasul sa dan para shahabatnya (Tafsir al-Qāsimiy: 3243/9).

Maka menjadi pejuang adalah pun-cak kemuliaan sekaligus hadiah Alloh kepada hamba-hamba-Nya yang ter-pilih, tidak semuanya. Di antara de-retan orang mulia tersebut adalah al-anbiyā’ (para nabi). Setiap nabi selalu ada dan berdiri tegak di sampingnya sosok-sosok gagah yang mencintai dan membelanya, serta mati-matian meme-gang kebenaran dan menyebarkannya.

Rasululloh sa bersabda:

(( مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ، يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمِرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ، يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ، وَيَفْعُلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ ))

Tidak ada seorang nabi pun sebelum-ku yang diutus Alloh kecuali selalu ada sosok yang menemani dan membelanya dari umatnya. Mereka senantiasa me-laksanakan sunnah dan mematuhi pe-rintah nabinya. Kemudian datang se-sudah mereka orang-orang yang me-ngatakan apa yang tidak mereka laku-kan, mengerjakan apa yang tidak dipe-rintahkan.” (HR. Muslim)

Alloh sw menjelaskan dalam al-Qur’an tentang hawāriyyun (penolong) Nabi Isa as yang bersegera menjawab seruan Rabbnya dengan cepat dan si-gap ketika:

“…Siapakah yang akan menjadi peno-long-penolongku untuk (menegakkan agama) Alloh?”. Para hawariyyin (sha-habat-shahabat setia) menjawab:Ka-milah penolong-penolong (agama) Alloh, kami beriman kepada Alloh; dan sak-sikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.” [QS. Āli ’Imrān (3): 52]

Demikian halnya di sisi Nabi kita sa pun berdiri para pemberani yang men-cintai beliau sa dari kalangan Muhajirin dan orang-orang mukhlis dari golong-an Anshar yang telah berbaiat untuk me-nolong dīn Alloh sw. Tak mau keting-galan, orang-orang yang datang sete-lah mereka.

Dan orang-orang yang memberi tem-pat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), me-reka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. [QS. al-Anfāl (8): 74]

Dalam kitab-kitab terdahulu pun telah diceritakan sifat-sifat mereka:

Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama me-reka. Kalian lihat mereka ruku dan su-jud mencari karunia Alloh dan keridha-an-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam In-jil, yaitu seperti tanaman yang menge-luarkan tunasnya. Maka tunas itu men-jadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas po-koknya. [QS. al-Fath (48): 29]

Alloh sw telah menjanjikan kepada orang-orang seperti itu dengan keber-untungan dan kemenangan.

Maka orang-orang yang beriman ke-padanya, memuliakannya, menolong-nya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang ber-untung. [QS. al-Arāf (7): 157]

Saudaraku kaum muslimin….

Zaman yang sedang kita tapaki hari ini butuh sebanyak mungkin pejuang (calon pahlawan). Di setiap medan per-juangan butuh sosok pribadi pahlawan sebagai wasīlah (perantara) turunnya pertolongan. Alloh sw pun telah me-nurunkan ayat-Nya, menyeru mereka, di antaranya adalah kita, ya kita semua.

“Hai orang-orang yang beriman, jadi-lah kamu penolong (agama) Alloh!” [QS. ash-Shaff (61): 14]

Maka jawablah segera seruan-Nya dengan memenuhi syarat-syaratnya. Supaya segera datang pertolongan-Nya. Akan tetapi ada satu hal yang jangan sampai luput dari perhatian, yaitu me-ngerti apa makna pertolongan. Jangan sampai pertolongan itu hanya sampai di alam perasaan, tidak riil di alam ke-nyataan. Atau menjalankan metode yang tidak sejalan dengan apa yang di-inginkan Rabb semesta alam. Jangan pula kita termasuk dalam apa yang di-sabdakan Rasululloh sa:

“Mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, mengerjakan apa yang tidak diperintahkan.” (HR. Muslim)

Saudaraku kaum muslimin….

Jangan sampai kita diharamkan dari mendapat kemuliaan ini. Kemuliaan apa sebenarnya yang hendak kita cari? Adapun kalau kita tak mau jadi peju-ang, Alloh akan datangkan suatu ka-um sebagai pengganti manusia-manu-sia yang tak mau berjuang.

Hai orang-orang yang beriman, ba-rangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan merekapun men-cintai-Nya, yang bersikap lemah lem-but terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Alloh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dike-hendaki-Nya dan Alloh Maha luas (pem-berian-Nya), lagi Maha mengetahui. [QS. al-Māidah (5): 54]