Minggu, 25 Januari 2009

Kembali ke Pangkuan Islam: Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang di Spanyol, Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang itu terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Semua tahanan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Sebab jika tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang tengah mengumandangkan suara-suara yang sangat ia benci.

"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyundut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib...! Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat ‘galak’ untuk meneriakkan kata “Rabbi, wa ana 'abduka...”. Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz... InsyaAlloh tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu sekeras-kerasnya hingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Bapa kami, Tuhan Yesus! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak terdengari lagi di sini. Sebagai balasannya, kau akan kubunuh! Kecuali, jika engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar kata-kata tadi, orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

"Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai Kekasihku yang amat kucintai, Alloh. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti keinginanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Sesaat saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhunyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

Dengan tatapan menghina pada Roberto, sang Ustadz menjawab, "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!". Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang remuk terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar suara gemeretak itu. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya berang. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh itu. Namun, mendadak algojo itu termenung.

"Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembar pertama ‘buku kecil’ itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" di dalamnya. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang Ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak dahulu.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa syahid di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan, ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib. Semua itu terjadi hanya karena mereka tidak mau murtad sari agama Islam dan memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang anak laki-laki tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak laki-lak itu menumpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan ia mendekati tubuh yang tak sudah bernyawa itu. Anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi… mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."

Bocah itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus diperbuatnya . Untuk pulang ke rumah pun ia tidak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...! Abi...! Abi...!!" Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak itu. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawabnya memohon belas kasih. "Hah...?! Siapa namamu bocah?! Coba ulangi!!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah! " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba… Plak!! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai bocah...! Wajahmu tampan tapi namamu hodoh! Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Bocah itu mengigil ketakutan, sambil tetap meneteskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Dan akhirnya anak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto tersadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah tahanan yang tengah terkulai tak berdaya itu. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi...!!!". Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah kecil dahulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah mushaf Al-Qur’an milik ayahnya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang Ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.

Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Alloh.

Sang Ustadz dengan susah payah masih dapat berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah selesai berpesan, sang Ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anlaa Ilaaha illa-Alloh, wa asyahadu anna Muhammad ar-Rasullullah...”. Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru padanya, Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Alloh, tetaplah atas fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Alloh. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS30:30)