Alloh swt berfirman:
} يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا للهِ وَ لِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَ اعْلَمُوا
أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَ قَلْبِهِ وَ أَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ {
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dikumpulkan” [QS. al-Anfāl (8): 24]
“Sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian adalah iman, Islam, al-Qur`an dan jihad.”
Alangkah agung nikmat yang Alloh anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, ketika Dia menyempurnakan agama-Nya, melengkapi nikmat-Nya dan meridhai Islam sebagai agama-Nya.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu” [QS. al-Mā’idah (5): 3]
Alangkah terhormatnya seorang manusia, saat kembali menuju Alloh swt, menerima dakwah-Nya dan melihat jalan lurus yang ada di hadapannya. Itulah peran diri yang harus ditunaikan dalam kehidupannya.
Orang-orang yang mau menerima seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw, secara dzahir dan bathin, adalah orang-orang yang hidup, sekalipun jasad-jasad mereka telah mati, orang-orang kaya, sekalipun tak memiliki apa-apa, dan mereka adalah orang-orang mulia, sekalipun minim pendukung dan keluarga.
Selain mereka adalah orang-orang mati, sekalipun jasad-jasad mereka masih hidup.
Orang-orang yang tidak menerima seuran Alloh adalah orang-orang miskin, sekalipun tumpukan emas memenuhi saku-saku, gudang-gudang, ataupun rekening-rekening mereka. Mereka adalah orang yang diselimuti kehinaan, sekalipun berasal dari keturunan terhormat lagi mulia.
Karena itu, manusia yang paling sempurna hidupnya adalah mereka yang paling sigap menyambut seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw. Mereka hidup dengannya dan menyampaikan pesan-pesannya. Setiap apa yang diserunya mengandung kehidupan. Barangsiapa kehilangan salah satu bagian dari peran dakwahnya, maka akan hilanglah satu bagian dari hidupnya. Mereka memiliki kehidupan sebesar upaya dirinya mau menerima Alloh swt dan Rasul-Nya saw. Alloh swt memberikan dakwah mulia ini untuk kaum mukminin, menghimpun mereka dalam perasaan iman, menyeru mereka dengan nama iman dan mengingatkan mereka tentang kandungan iman. Dia panggil mereka dengan seruan iman, agar mereka siap sedia menyambut dakwah-Nya dengan sungguh-sungguh dan perhatian, siaga dan sepenuh kekuatan. Itulah sikap seorang mukmin: Menyongsong perintah-perintah Alloh swt dan seruan dakwah-Nya dengan penuh kekokohan jiwa dan kemantapan hati.
“Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu” [QS. al-A'rāf (7): 171]
Tidak ada seorangpun yang menerima seruan Alloh, mampu mengemban dakwah dan bertahan menghadapi rintangannya serta mampu hidup dan bergerak di dalamnya kecuali pahlawan perkasa. Jadilah ia generasi beriman yang istimewa, menerima al-Kitab dengan penuh komitmen, dan konsekuen dengan kandungannya. Dia memiliki risalah dan tujuan mulia, berjuang dan berjihad untuk-Nya.
“Dan berjihadlah kalian di jalan Alloh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Alloh) telah menamai kalian sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atau segenap manusia” [QS. al-Hajj (22): 78]
Dia menjadi bagian dari ummat pemandu dan pemimpin yang dipilih Alloh swt sebagai saksi kunci bagi seluruh manusia, untuk menegakkan keadilan dan kejujuran, serta meletakkan timbangan rabbaniyyah dan nilai-nilai mulia, ummat yang adil dan pertengahan.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" [QS. al-Baqarah (2): 143]
Seruan inilah yang Alloh swt tujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, seruan menuju kehidupan. Kehidupan yang beragam bentuknya dan berbeda hakekat maknanya, bukan semata-mata kehidupan. Sebuah kehidupan mulia dan hakikat sempurna yang membedakan seorang insan dengan makhluk-makhluk lainnya. Seluruh makhluk lainnya hidup di alam hewan, bergerak dengan dorongan perut dan kemaluan, tidak mengenal tujuan mulia yang harus ditempuh, tidak pula mengenal risalah hidup yang harus diemban dan berjuang di jalannya. Harga dirinya hanyalah beberapa rupiah yang memenuhi kantongnya, atau sesuap nasi yang memenuhi perutnya, atau sehelai kain yang menutupi jasadnya. Setelah itu, tak ada apa-apa, kecuali hanya sekedar berlalu-lalang.
Itulah sebuah kehidupan yang menggelorakan qalbu dan akal, aqidah yang menyinari jiwa, hingga terciptalah sesosok diri yang penuh hidayah dan cahaya.
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” [QS. al-An'ām (6): 122]
Itulah aqidah yang menuntun akal, mengarahkan untuk bergerak dan berkerja, mencegah penyimpangan dan pemalsuan, menjaga kemampuan dan potensi. Saat seseorang mampu menata fikrahnya dengan lurus, menentukan ruang gerak pencapaian akalnya serta mencegah sesuatu yang tak sanggup dipikirkan dan dijangkaunya, saat itulah dia telah mampu mempotensikan daya akalnya untuk bekerja sesuai ruang lingkupnya. Dengan itulah, dia akan mampu mewujudkan hasil-hasil besar sunnah rabbāniyyah di alam semesta, di alam sosial, kebudayaan, dan dalam rentetan berbagai peristiwa sejarah.
Itulah kehidupan yang menghidupkan ruh dan jasad, tanpa terpisah atau berbenturan. Di dalam Islam, penyiksaan tubuh bukan jalan menuju ketinggian dan kesucian ruhani. Perhatian terhadap ruhani tidak berarti bahwa seorang mukmin harus menolak dan menyingkirkan apa saja yang dihalalkan dan diharamkan oleh Alloh swt, bukan pula dengan menolak hak kehidupan dan perhiasan yang dikeluarkan Alloh swt untuk hamba-hamba-Nya.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kalian melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik kepadamu....” [QS. al-Qashash (28): 77]
Itulah pelajaran yang diberikan Nabi saw kepada para shahabatnya, yang ditanamkan dalam kalbu dan jiwa mereka, sebuah pelajaran dan pengajaran yang takkan terlupa.
Anas bin Malik berkata: Tiga orang laki-laki datang ke rumah isteri Rasulullah saw untuk bertanya tentang peribadatan beliau. Saat mereka sudah dikhabarkan tentang ibadah beliau tersebut, mereka merasakan minim sekali ibadah mereka jika dibandingkan dengan beliau. Mereka berkata: “Siapakah kita ini, jika dibandingkan dengan Nabi saw yang telah diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang kemudian?”. Lalu, salah seorang dari mereka berkata: “Saya akan shalat malam selama-lamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan shaum sepanjang tahun tidak berbuka”. Dan yang lain berkata pula: “Saya akan meninggalkan wanita, tidak menikah selama-lamanya”. Lalu, datanglah Rasulullah saw dan berkata: “Kalian yang berkata ini dan itu? Demi Alloh, aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Alloh swt, akan tetapi aku shaum dan berbuka, aku shalat dan tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka bukanlah golonganku” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)
Tidak akan terwujud kehidupan kecuali dengan wahyu al-Rahmān.
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kalian tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kalian benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Alloh yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Alloh-lah kembali semua urusan” [QS. al-Syūrā (42): 52-53]
Alloh swt menamakan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya dengan ruh, karena di atasnyalah kehidupan hakiki terwujud. Dia namakan juga wahyu-Nya dengan nūr (cahaya), karena di dalamnya mengandung hidāyah (petunjuk). Serta menamakannya dengan syifā (obat penawar).
“Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat)” [QS. al-Mu'min (40): 15]
“Katakanlah: al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman” [QS. Fushshilat (41): 44]
Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Nabi saw mengumpamakan iman dan aqidah yang diwahyukan kepadanya sebagai hujan yang diturunkan ke tanah yang gersang, hingga tanah itupun tumbuh subur. Rasulullah saw bersabda:
“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang diutuskan Alloh kepadaku adalah seperti hujan lebat yang menimpa selahan tanah. Di antara tanah itu ada yang subur sekali yang mampu menampung air, lalu menumbuhkan rerumputan dan tunas-tunas pohon yang banyak. Ada pula tanah gersang yang hanya menampung air untuk minum manusia, untuk pengairan dan pertanian. Serta ada pula tanah mati yang tidak dapat menampung air dan juga tumbuh-tumbuhan. Itulah perumpamaan orang yang faqih dalam agama Alloh dan memberikan manfaat dengan wahyu yang diturunkan Alloh kepadaku, maka diapun berilmu dan mengajarkan ilmunya. Dan perumpamaan orang yang tidak mengangkat kepalanya sedikitpun dan tidak menerima hidayah Alloh yang aku diutus karenanya” (HR. al-Bukhāriy dan Muslim)
Itulah seruan menuju aqidah, Islam dan iman. Alloh swt menghidupkan mereka dengan Islam dan iman, padahal sebelumnya mereka mati dalam kekufuran.
Itulah seruan menuju kebenaran dan kekuatan. Kebenaran yang menjadi landasan didirikannya langit dan bumi, karena Alloh swt tidak menciptakan keduanya kecuali dengan kebenaran.
“Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan karena kebenaran.” [QS. al-Hijr (15): 85]
Kitab yang diturunkan oleh Alloh swt kepada penutup para nabi dan rasul-Nyapun adalah kebenaran. Karena Dia menurunkannya dengan kebenaran.
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu al-Kitab (al-Quran) itulah yang benar” [QS. Fāthir (35): 31]
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya” [QS. Āli ‘Imrān (3): 3]
Syari`at yang diturunkan Alloh swt kepada Rasulullah saw adalah kebenaran dan keadilan. Alloh swt sempurnakan syari`at-Nya dan dianugerahkan kepada seluruh makhluk-Nya, agar mereka menegakkan kebenaran dan keadilan di antara mereka.
“Dialah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama” [QS. al-Shaff (61): 9]
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan....... “ [QS. al-Hadīd (57): 25]
Jika kebenaran harus memiliki kekuatan yang dapat melindungi dan dapat menyingkirkan berbagai rintangan dalam perjalanan, membawa dan menyampaikannya kepada ummat manusia, maka atas dasar perkataan al-Fāruq ‘Umar adalah bahwa bicara kebenaran tidak akan berarti tanpa ada yang berjuang mensukseskannya. Sesungguhnya seruan kehidupan ini adalah seruan kekuatan dan jihad yang menjadi sebab Alloh swt muliakan ummat ini setelah tertimpa kehinaan, Alloh swt kuatkan setelah mengalami kelemahan. Bendera jihad fī sabīlillah untuk mengikrarkan hak-hak uluhiyyah Alloh swt di muka bumi, memberikan kebahagiaan ummat manusia terhadap agama-Nya serta memerdekakan mereka dari pengabdian kepada selain-Nya. Mereka adalah hamba-hamba Alloh swt, maka saat itulah mereka akan diberikan anugerah kemerdekaan hakiki dan ‘izzah (kemuliaan) yang sempurna. Jihad adalah jalan kemuliaan dan kehormatan bagi ummat, jalan kehidupan yang hakiki.
Sampai-sampai sekalipun sang mujahid mati dan mencapai syahid di jalan dakwah, akan tetapi di sisi Alloh swt mereka tetap berada dalam kehidupan (sekalipun di kubur-kubur mereka) serta akan memperoleh rizki yang indah yang tak dapat diukur dengan rizki dunia. Mereka adalah orang-orang yang memperkenankan seruan Alloh swt dan seruan Rasul-Nya saw.
“Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang diberikan-Nya kepada mereka. Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Alloh, dan bahwa Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman” [QS. Āli ‘Imrān (3): 169-171]
Dahulu, kaum muslimin hidup di tengah-tengah hakekat tersebut dengan situasi dan perasaan mereka yang mendalam. Di sisi mereka, jihad adalah kehidupan hakiki. Bukti-bukti sejarah tentang mereka sungguh tidak terhitung. ‘Umar yang menyaksikan langsung pertempuran antara Romawi dan Syam, serta seruan al-Shiddiq untuk jihad merupakan ajakan untuk hidup hakiki yang mulia.
Abu Bakar mengumpulkan para penasehatnya, di antaranya beliau berkata: “Aku bermaksud mengutus pasukan perang menuju pertempuran dengan Syam, agar Alloh memperkuat kaum muslimin, menjadikan kalimat-Nya tinggi, di samping kaum muslimin akan mendapatkan banyak bagian. Barangsiapa yang mati, maka dia mati syahid, dan apa yang ada di sisi Alloh lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. Dan barangsiapa yang masih hidup, maka dia hidup membela agamanya dan akan meraih pahala mujahidin dari Alloh”.
Semuanya ikut berbicara, ‘Umar, Abdurrahman bin `Auf, `Utsman bin `Affan, Thalhah, al-Zubayr, Sa`ad, Abu `Ubaidah, Sa`id bin Zaid dan seluruh yang hadir, semuanya sepakat dengan Abu bakar tentang prinsip kemerdekaan Syam.
Persatuan tercapai, Abu Bakar menyatukan ummat, lalu dia memuji Alloh swt dan menyerukan seruan jihad. Manusiapun diam, tak ada satupun yang mampu menjawabnya, karena begitu hebatnya pasukan Romawi, yang mereka tahu betapa banyaknya jumlah dan dahsyatnya kekuatan mereka. ‘Umarpun berdiri dan berkata: “Hai seluruh kaum muslimin! Mengapa kalian tidak menjawab khalifah Rasulullah yang menyeru kalian untuk sesuatu yang menghidupkan kalian? Seandainya itu sebuah jarak yang dekat dan perjalanan yang singkat, tentu kalian akan segera berangkat”
Kalimat al-Faruq itu keluar dari sumber cahaya, yaitu firman Alloh swt:
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian” [QS. al-Anfāl (8): 24]
Itulah kehidupan hakiki di dalam syurga, sebuah negeri kehidupan, negeri yang memancarkan kehidupan hakiki yang abadi, setelah berpindah dari kehidupan dunia. Negeri akhirat adalah kenikmatan yang harus direbut oleh setiap orang serta jangan ridha untuk digantikan dengan selainnya dan ja-gan mencari jalan untuk melepasnya. Untuk itu, seseorang harus memiliki persiapan dan perbekalan untuk mencapai akhir perjalanannya. Dengan begitu, akan terbuka cakrawala mulia di hadapannya, cita-cita yang jauh hingga mencapai puncak kemuliaan dan keimanan.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda-gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” [QS. al-'Ankabūt (29): 64]
Adapun orang-orang yang enggan memperkenankan seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw, berarti menolak kehidupan mulia yang layak bagi kemanusiaannya. Tidak ada yang dapat mereka raih kecuali kerendahan, hasil yang akan mereka dapatkan hanyalah kehancuran dan tempat kembali mereka adalah siksaan dan hinaan.
“Tidakkah kalian perhatikan orang-orang yang menukar nikmat Alloh dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruknya tempat kediaman” [QS. Ibrāhīm (14): 28-29]
Alangkah ruginya mereka yang lebih mementingkan dunia yang fana dibandingkan akhirat kekal selamanya. Alangkah besar kesesatan mereka yang membatasi alam wujud dengan hanya apa yang mampu mereka jangkau dengan panca inderanya yang terbatas di dunia. Mereka mengira wujud mereka hanya terbatas di dalamnya, tidak bekerja untuk selainnya: Manusia diciptakan untuk kekal, maka sesatlah ummat yang mengira akan wafat.
Mereka hanya pindah dari negeri amal, untuk sampai ke negeri celaka atau bahagia.
Seluruh makna kehidupan yang kita temukan di dalam ayat yang mulia ini, berupa iman, kebenaran, jihad atau syurga di negeri akhirat… Itulah semua yang dimaksud dan dituju, tidak ada perbedaan untuk itu semua, semuanya hanya ibarat-ibarat yang memiliki satu hakekat. Yaitu: kokoh berdiri dengan wahyu yang dibawa Rasulullah saw, baik dzahir maupun bathin. Ungkapan-ungkapan yang tampaknya berbeda, bukanlah perbedaan kontradiktif, tetapi hanya perbedaan redaksi.
Imam Ibnu al-Qayyim berkata:
“Ayat tersebut mengandung semua makna yang disebutkan. Sesungguhnya iman, Islam, al-Qur`an dan jihad akan menghidupkan hati dengan kehidupan yang baik dan sempurna di dalam Syurga. Rasul adalah penyeru iman dan syurga serta penyeru kehidupan di dunia dan di akhirat”
Wahai saudaraku kaum muslimin!
Apakah engkau siap menyongsong seruan mulia yang dianugerahkan Alloh swt kepadamu? Agar engkau gapai kehidupan mulia. Maka, jadikanlah seruan itu sebagai sikap dan rambu-rambu perjalanan.
Apabila seruan itu disampaikan untuk yang kedua kalinya, apakah engkau siap menyongsongnya?
Engkau tak memiliki pilihan… jika engkau seorang mukmin… Mau iman… atau bukan iman… mau menerima dan menyongsongnya… ataukah menolak?
Pasti bukan seorang mukmin yang menolak seruan Alloh swt atau menjadikannya hanya lewat di belakang telinga. Menerima seruan Alloh swt dan Rasul-Nya saw adalah ciri hakiki dan simbol amali keimanan.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. al-Nūr (24): 51]
Seorang mukmin adalah seorang yang menyambut panggilan iman dengan segera.
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kalian kepada Rabb-mu”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji” [QS. Āli ‘Imrān (3): 193-194]